Minggu, 09 Oktober 2011

Agrosilvopastoral Penyangga Sistem Ketahanan Pangan Masyarakat di Pulau Timor

Agrosilvopastoral
Penyangga Sistem Ketahanan Pangan Masyarakat di Pulau Timor
Pengalaman Yayasan Mitra Tani Mandiri
Oleh Yosef Sumu

1.  Agrosilvopastoral Sistem Pertanian Asli di Pulau Timor

Para petani di Pulau Timor sejak dahulu telah mempraktekkan agrosilvopastoral walaupun istilah ini baru dikenal luas sekitar tahun 1990 bahkan hanya oleh segelintir petani saja.  Secara turun temurun para petani telah mengembangkan teknik-teknik pertanian yang mirip dengan sistem agrosilvopastoral karena secara alamiah petani mampu mengintegrasikan tanaman pangan, hortikultura, pohon dan ternak yang saling menguntungkan satu dengan yang lain sesuai dengan potensi sumberdaya alam yang dimiliki.  Lahan pertanian dan  ternak yang statusnya diakui sebagai hak milik, hamparan padang penggembalaan, kondisi hutan primer yang masih utuh serta debit sumber mata air yang besar merupakan potensi sumberdaya alam yang mendukung  para petani untuk mengembangkan teknik pertanian yang menyerupai agrosilvopastoral.  Apalagi sumberdaya alam tersebut pemanfaatannya masih diakses secara terbuka dan belum dibatasi dengan regulasi pemerintah, merupakan hak milik bersama semakin mempermudah petani untuk mengembangkan teknik pertanian yang mirip agrosilvopastoral.  Penguasaan SDA pada saat itu sebagian besar masih dikuasai oleh lembaga adat.

Beberapa teknik pertanian yang dikembangkan oleh para petani di pulau Timor yang mirip dengan agrosilvopastoral diantaranya  suf, leltolas, mamar, kono, poan dan modelnya lainnya.  Teknik-teknik yang mirip dengan agrosilvopastoral tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri.  Suf merupakan hamparan lahan yang berada di suatu wilayah perbukitan dengan batas-batas yang jelas yang dikuasai oleh suku-suku tertentu dan dikelola  sesuai dengan tujuan dan aturan yang disepakati bersama dalam satu rumpun suku.   Secara teknis pengembangan suf memadukan tanaman pangan, semak belukar dan ternak yang berada dalam satu hamparan perbukitan.  Luas wilayah setiap suf berkisar antara 100 - 200 ha.  Setiap anggota suku berhak untuk  mendapat lahan yang dibagikan oleh pemangku adat.   Beberapa aturan adat yang harus ditaati yakni pembukaan satu lahan suf untuk dikelola anggota suku dilakukan secara serempak, setiap anggota suku membuat pagar pengaman pada saat diolah jadi kebun, tidak boleh membakar dalam suf, dll.    Pada saat lahan dibuka (5 tahun sekali), suf ditanami dengan berbagai jenis tanaman pangan (padi, jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian). Setelah tanaman pangan dipanen, tanaman legume seperti turi, lamtoro dan pohon legume jenis lokal lainnya dibiarkan tumbuh sebagai sumber pakan ternak dan sekaligus sebagai pohon panjatan untuk tanaman umbi  tali.   Umbi-umbian akan dipanen pada tahun kedua dan pada saat yang bersamaan pagar akan rusak sehingga ternak dilepas bebas dalam lahan.   Dengan teknik ini ternak akan tampak sehat karena mudah mendapatkan pakan dan cirit/kotoran ternak tersebar dalam kebun sehingga tanah lebih subur. Teknologi yang digunakan dalam pengelolaan suf adalah tebas bakar dan peternakan lepas/ekstensif.   Di dataran tinggi Pulau Timor di wilayah Gunung Mutis, model suf ini hanya memadukan pepohonan dengan ternak tanpa tanaman pangan karena wilayah ini merupakan kawasan Cagar Alam.

Teknik-teknik pertanian tradisional tersebut saat ini sudah sangat berkurang karena populasi ternak menurun drastis, padang penggembalaan dan hutan semakin menyempit, debit sumber mata air semakin  menurun,  sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk sehingga tekanan terhadap sumberdaya alam tersebut tak dapat dikendalikan.  Namun demikian teknik pertanian tradisional tersebut  terus dikembangkan dan diadaptasikan sesuai dengan perubahan kondisi sumberdaya alam karena diyakini menjadi penyangga sistem ketahanan pangan masyarakat dan sumber pendapatan uang tunai bagi para petani. 

2.  Konsep Agrosilvopastoral yang Dianut Petani Dampingan YMTM

Berdasarkan keyakinan tersebut, sejak tahun 1991 YMTM mulai mengembangkan program  agrosilvopastoral yang intensif di desa Humusu A,  Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) - Pulau Timor.     YMTM memilih untuk mengembangkan agrosilvopastoral karena sudah dipraktekkan oleh petani, sesuai dengan kondisi budaya lokal, secara ekonomis diandalkan sebagai sumber pendapatan potensial dan sumber bahan pangan yang beranekaragam, mengurangi tekanan terhadap hutan primer karena memadukan tanaman pangan dengan tanaman pepohonan atau tanaman umur panjang dan ternak.   Berdasarkan komponennya, agrosilvopastoral yang dikembangkan YMTM merupakan salah satu komponen agroforestry yang telah dikenal secara umum.  Di tingkat desa, para petani sangat familiar menyebut agrosilvopastoral dengan sebutan “kebun tetap” yang merupakan bentuk pengelolaan lahan secara parmanen dengan menerapkan  teknologi konservasi tanah dan air (KTA) serta di dalamnya dikembangkan berbagai jenis tanaman, baik tanaman pangan, tanaman umur panjang, tanaman sayur serta ternak yang dipeliharan secara intensif untuk meningkatkan produksi dan produktivitas lahan secara berkelanjutan.  Konsep ini sebenarnya tidak berbeda dengan teknik-teknik pertanian tradisional yang menyerupai agrosilvopastoral yang dikembangkan para petani sejak dulu karena ingin mempertahankan prinsip  mengintegrasikan berbagai  jenis tanaman dan/atau ternak yang saling menguntungkan antara satu komponen dengan komponen lainnya.

3.  Tahapan Pengembangan Sistem Agrosilvopastoral

Pengembangan agrosilvopastoral dilakukan secara bertahap.  Pada awalnya agrosilvopastoral dikembangkan hanya pada skala kebun sebagai contoh bagi para petani yang ada di sekitarnya.  Dengan keberhasilan yang dicapai dari kebun, agrosilvopastoral kemudian diperluas dalam bentuk hamparan dengan menyempurnakan praktek suf baik dari aspek teknis, sosial budaya, ekonomi dan kebijakan.

3.1.  Penguatan kapasitas teknis
Secara teknis pengembangan agrosilvopastoral dalam bentuk hamparan/suf  dengan mengkombinasikan beberapa komponen yang saling berinteraksi  positif antar satu dengan yang lain.  Komponen-komponen tersebut meliputi tanaman penguat teras berupa tanaman leguminosae (gamal, lamtoro, kaliandra, turi), tanaman pepohonan (tanaman hortikultura, tanaman perkebunan dan kayu bangunan), tanaman pangan (jagung, padi  dan kacang-kacangan), tanaman sayur dan tanaman sela (keladi/talas, ubi tali, ubi kayu, kunyit, jahe) dan ternak sapi.   Pembuatan terasering dan penanaman tanaman penguat teras selalu menjadi langkah awal untuk pengelolaan satu hamparan/suf.  Bapak Servas Sasi seorang petani pelopor dari Desa Benus, Kec. Naibenu, Kab. TTU yang menggerakkan petani untuk mengolah suf seluas 105 ha mengisahkan “tanah ini dulu tidak disukai oleh masyarakat karena tidak subur sama sekali.  Teknologi konservasi tanah dan air mampu memperbaiki kondisi tanah di sekitar suf ini. Walaupun tanah ini merupakan tanah adat, tetapi atas inisiatif saya, hamparan ini telah dibagikan kepada masyarakat untuk dijadikan kebun oleh Kepala Desa dan pemangku adat setempat. Hamparan ini telah  ditanami dengan tanaman penguat teras sehingga kondisi tanah berubah”.  Keberhasilan pengembangan tanaman penguat teras menjadi dasar kuat untuk budidaya tanaman pangan, tanaman pepohonan, tanaman sela  dan pemeliharaan ternak.    Bapak Patris Lion, petani dari desa Makun, Kec. Biboki Feot Leu, Kab. TTU, mengungkapkan pengalamannya bahwa, “pengembangan agrosilvopastoral harus memperhatikan betul hubungan antara satu jenis usaha tani dengan jenis usaha tani yang lain sehingga kombinasinya dapat saling menguntungkan.  Misalnya di dalam kebun, saya tanam gamal sebagai sumber pupuk hijau sekaligus sebagai pohon panjatan untuk tanaman sirih yang merupakan sumber pendapatan utama bagi keluarga saya dan diantaranya ditanami juga dengan kopi dan gamal sebagai pelindung. Pengaturan pola tanam dilakukan dengan cara mengkombinasikan beberapa komponen atau memisahkan ruang antara komponen terutama untuk jenis komponen yang memiliki sifat sangat berbeda.

Komponen penting yang harus selalu ada dalam pengembangan agrosilvopastoral adalah ternak.  Mama Lin seorang petani perempuan dari Desa Fafinesu B, Kec. Insana Fafinesu, Kab. TTU mengungkapkan bahwa “saya bisa memelihara ternak dengan mudah karena telah menanam pakan berupa lamtoro, kinggres maupun turi dalam jumlah banyak di dalam kebun saya.  Dengan membuat kandang langsung di kebun, saya mudah untuk memberikan pakan kepada sapi dan memupuk tanaman menggunakan pupuk kandang yang dihasilkan dari kandang sapi.  Untuk mendapatkan pupuk kandang dengan kualitas yang baik dan volumenya banyak maka saya membuat lubang kompos dengan ukuran 3 m x 2 m x 1 m sehingga kebutuhan pupuk di kebun kami dapat terpenuhi.   Kompos yang dihasilkan dapat saya gunakan untuk memupuk tanaman jagung, sayur, tanaman umur panjang yang ada di dalam kebun ini”.   


3.2. Penguatan kapasitas sosial budaya
Dari aspek sosial budaya pengembangan agrosilvopastoral dalam hamparan/suf, harus mampu menekan praktek sosial yang kurang efisien dan memperkuat kearifan lokal yang dimiliki petani. Acara ritual adat yang berlebihan dan praktek tebas bakar merupakan kebiasaan sosial budaya yang kurang efisien dan harus diminimalisir.  Menghidupkan kembali peran lembaga adat dan aturan adat merupakan kearifan lokal yang perlu diperkuat.  Perubahan dari aspek sosial budaya sangat dirasakan oleh para petani di desa Oenain Kec. Insana Fafinensu  Kab. TTU  yang sukses mengembangkan agrosilvopastoral dalam hamparan/suf yang luasnya mencapai 150 ha yang dikelola oleh 109 keluarga. Hamparan/suf ini telah dikelola secara parmanen selama  12 tahun, suatu rentang waktu yang tidak singkat bila dibandingkan dengan model pengelolaan kebun secara tradisional dengan budaya sistem tebas bakar yang hanya pengelolaannya selama 1 – 2 musim tanam saja, kemudian dilepas.  Peran penting tokoh adat di desa ini mampu menghasilkan kesepakatan bersama secara partisipatif, mengawal pelaksanaannya secara ketat, mendukung pelaksanaan agrosilvopastoral di desa ini.  Salah satu kesepakatan penting yang dikawal secara ketat adalah larangan tebas bakar atau menghidupkan api di dalam hamparan/suf ini.  Dengan kesepakatan ini, petani menghindarkan tanamannya dari ancaman kebakaran.  Kombinasi kompenen yang terlihat dalam suf ini antara lain tanaman penguat teras yang terdiri dari gamal, lamtoro dan kaliandra serta kingres yang berfungsi sebagai pakan ternak, pepohonan (johar, jati putih, kemiri dan bambu), tanaman hortikultura (jeruk, nenas, pisang), tanaman sela (keladi/talas, ubi rambat dan ubi kayu) dan tanaman pangan (padi, jagung dan kacang-kacangan) dan ternak sapi.

3.3. Penguatan Kapasitas Ekonomi

Penguatan kapasitas ekonomi dilakukan agar petani memiliki kemampuan untuk menganalisa dan menghitung keuntungan atau kerugian dari model agrosilvopastoral yang akan dikembangkan.  Analisa ekonomi sistem agrosilvopastoral memang lebih sulit dilakukan ketimbang analisa usahatani yang bersifat monokultur karena harus menghitung beberapa jenis usahatani dalam satu kebun.  Bapak Very Timo, petani dari desa Kaebaun, Kec. Miomaffo Timur, Kab. TTU, berani mengubah jenis usahatani dari jambu mente dan jeruk ke tanaman mahoni, pisang goreng dan pepaya.  Keputusan ini diambil karena ternyata usaha jambu mente dan jeruk setelah dianalisa pendapatan yang diperoleh per-tahun hanya sebesar Rp. 9.000.000 termasuk satu ekor sapi jantan yang digemukkan dalam kebun.  Setelah analisa usahatani dengan merencanakan tanaman pepaya, pisang goreng dan mahoni termasuk satu ekor sapi jantan maka pendapat usaha tani jmodel ini diperkirakan mencapai Rp.18.000.000 setelah dikurangi biaya variabel.

3.4. Mendorong Kebijakan Pemerintah Mendukung Agrosilvopastoral

Pengembangan agrosilvopastoral dalam bentuk hamparan/suf tidak mudah dilakukan, terutama menggerakkan masyarakat agar berpartisipasi dalam semua tahapan mulai dari perencanaan, membangun kesepakatan, pelaksanaan sesuai teknis, monitoring dan evaluasi.  Oleh karena itu, dibutuhkan perangkat kebijakan di tingkat desa agar mengikat semua masyarakat untuk bekerja sesuai dengan norma yang disepakati bersama.  Keberhasilan agrosilvopastoral dalam bentuk hamparan/suf di desa Oenain, Kecamatan Insana Fafinesu-TTU merupakan salah satu contoh sukses.  Bapak Laurensius Leu, Kepala Desa Oenain menggambarkan, “Pemerintah Desa Oenain mendukung pengembangan agrosilvopastoral di desa ini dengan dua kebijakan penting yaitu RPJM-Des dan Perdes Tentang Kebun Menetap.  Pada saat saya dicalonkan salah satu syarat yang diajukan oleh tokoh adat adalah harus memberikan dukungan konkrit untuk pengelolaan hamparan pertanian yang sudah berhasil ini.  Mandat dari masyakat ini saya jalankan sampai sekarang dengan membuat kebijakan konkrit yang dituangkan dalam RPJM-Des Periode 2007-2013”. 

4. Hasil dan Manfaat Agrosilvopastoral

Bagi petani, manfaat ekonomi dan pemenuhan ketahanan pangan menjadi hal yang paling utama.  Berikut penuturan dua orang petani  yang merasakan manfaat  dari pengembangan agrosilvopastoral.

Saya bernama Yoseph Kolo, asal desa Jak Kecamatam Miomafo Timur.  Saya memiliki empat orang anak, satu laki-laki dan tiga perempuan. Saat ini saya merasa bangga, ternyata saya sukses dalam pengelolaan kebun tetap. Keluarga saya dapat terhindar dari ancaman kelaparan walaupun tahun ini hasil panen jagung sangat kurang.  Di dalam kebun tetap tersedia berbagai jenis umbi-umbian maupun buah yang dikonsumsi keluarga.  Luas lahan yang saya olah ± 45 are ini telah saya kembangkan tanaman mahoni sebanyak 500 pohon yang sudah berumur 4 tahun. Selain tanaman mahoni, juga saya kembangkan tanaman sisipan berupa ubi-ubian, pisang dan sayur-sayuran seperti talas yang ditanam sepanjang teraseing,  ubi tali dengan memanfaatkan tanaman mahoni sebagai pohon panjatan, ubi kayu yang ditanam di antara kayu bangunan.  Sayur-sayuran ditanam pada bagian kebun yang agak terbuka sehingga mendapat sinar matahari. Pada akhir bulan Juli 2011 sayur-sayuran sudah kami panen dan menghasilkan uang sebesar Rp.700.000 (tujuh ratus ribu rupiah) yang lainnya dimanfaatkan untuk konsumsi.  Keberhasilan ini tidak terbatas dengan kebun yang sudah ada, tetapi saya mempunyai impian untuk memperluaskan lagi lahan yang belum diolah seluas 55 are sehingga semuanya bisa ditanam dengan tanaman produktif seperti mahoni, ubi-umbian, pisang dan sayur-sayuran. Saya bermimpi  kebun seperti hutan dan menjadi tabungan untuk hari tua saya.

Dari aspek ekonomi, berikut penuturan salah satu petani dari Desa Oenain. Nama saya Andreas Sasi. Saya memiki kebun seluas 1 ha. Pada tahun 2011 pendapatan yang saya terima dari kebun ini sebesar Rp. 21.720.000.  Bila dikurang dengan biaya variabel yang dikeluarga selama periode ini maka pendapatan bersih yang saya terima sebesar Rp 18.680.000.  Pendapatan terbesar saya peroleh dari hasil tanaman umur panjang (TUP) sebesar Rp. 11.000.000 dan disusul ternak.  Bila dibandingkan dengan kondisi tahun 1999 maka pendapatan yang saya peroleh sangat jauh berbeda. Pada saat itu  saya masih kelola kebun ini dengan cara tradisional dengan menanam padi dan jagung. Pendapatan yang saya terima pada saat itu maximal Rp. 4.000.000 belum dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan. Saya merasakan pengembangan kebun tetap lebih menguntungkan keluarga saya.

5. Keunggulan Agrosilvopastoral Dibandingkan Dengan Sistem Lainnya

Bapak Matius Neno, Ketua Lopotani Desa Oenain yang sudah terbiasa memfasilitasi kunjungan belajar petani dari Negara Timor Leste menjelaskan beberapa keunggulan agrosilvopastoral  dari aspek teknis dan ekologis.  Secara teknis, agrosilvopastoral memiliki keunggulan sebagai berikut : pemilihan komponen usahatani yang beragam menjamin kompetisi yang saling menguntungkan.  Misalnya tanaman pepohonan dan tanaman pangan mensuplay pakan bagi ternak dan ternak menyediakan pupuk bagi tanaman.   Tanaman legume berfungsi sebagai pelindung bagi tanaman kopi, nenas dan sebagai pohon panjatan untuk ubi rambat.  Pola kombinasi tanaman juga saling menguntungkan dari sisi perlindungan gangguan hama penyakit tanaman.  

Secara ekologis, pengembangan agrosilvopastoral  dapat memperluas wilayah tutupan lahan sehingga dapat memperkecil laju erosi  tanah;  penciptaan lingkungan agroklimat (iklim mikro) yang lebih memungkinkan untuk  introduksi komoditas baru yang bernilai ekonomi tinggi disamping pengayaan keanekaragaman hayati, dapat menciptakan keseimbangan ekosistem yang menghindarkan adanya ledakan hama seperti belalang dan mensuplai bahan organik yang dapat menjamin kesuburan alami tanah.

Bapak Marius menekankan, agrosilvopastoral merupakan sistem pertanian yang sangat tepat karena petani bisa mendapatkan bahan makanan yang bervarasi dan sumber pendapatan potensial sehingga menyangga sistem ketahanan pangan bagi keluarga terutama pada saat musim paceklik. Hasil pertanian baik tanaman pangan, tanaman buah-buahan, sayur-sayuran dan produk lainnya yang dihasilkan dari sistem agrosilvopastoral tidak menggunakan bahan kimia baik pupuk sintetik, herbisida dan pestisida.  Oleh karena itu hasil pertanian yang kami peroleh dari kebun merupakan produk organik dan sehat untuk dikonsumsi.


[1] Koordinator Yayasan Mitra Tani Mandiri Kab. TTU-NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar